Secara resmi,
aksara Tionghoa pertama kali dikenal di Jepang lewat barang-barang yang diimpor
dari Tionghoa melaluiSemenanjung Korea mulai abad ke-5 Masehi. Sejak itu pula, aksara Tionghoa
banyak dipakai untuk menulis di Jepang, termasuk untuk prasasti dari batu dan
barang-barang lain.
Sebelumnya di
awal abad ke-3 Masehi, dua orang bernama Achiki dan Wani
datang dari Baekje di masa
pemerintahanKaisar Ōjin. Keduanya konon menjadi pengajar aksara Tionghoa bagi putra
kaisar. Wani membawa buku Analekkarya Kong Hu Chu dan buku pelajaran menulis aksara Tionghoa
untuk anak-anak dengan judul Seribu Karakter Klasik. Walaupun demikian, orang Jepang mungkin
sudah mengenal aksara Tionghoa sejak abad ke-1 Masehi. DiKyushu ditemukan stempel emas asal
tahun 57 Masehi
yang diterima sebagai hadiah dari Tiongkok untuk raja negeri Wa (Jepang).
Dokumen tertua yang ditulis di Jepang menurut perkiraan
ditulis keturunan imigran dari
Tiongkok. Istana mempekerjakan keturunan imigran dari Tiongkok bekerja di
istana sebagai juru tulis. Mereka
menuliskan bahasa Jepang kuno yang disebut yamato kotoba dalam aksara Tionghoa. Selain itu, mereka juga menuliskan berbagai peristiwa dan kejadian
penting.
Sebelum aksara kanji dikenal orang Jepang, bahasa
Jepang berkembang tanpa bentuk tertulis. Pada awalnya, dokumen bahasa Jepang
ditulis dalam bahasa Tionghoa, dan dilafalkan menurut cara membaca bahasa
Tionghoa. Sistem kanbun (漢文) merupakan
cara penulisan bahasa Jepang menurut bahasa Tionghoa yang dilengkapi tanda diakritik. Sewaktu dibaca, tanda diakritik membantu penutur bahasa Jepang mengubah
susunan kata-kata, menambah partikel, dan infleksi sesuai aturan tata bahasa Jepang.
Selanjutnya berkembang sistem penulisan man'yōgana yang memakai aksara Tionghoa untuk
melambangkan bunyi bahasa Jepang. Sistem ini dipakai dalam antologi puisi
klasik Man'yōshū. Sewaktu menulis man'yōgana, aksara Tionghoa ditulis dalam bentuk
kursif agar menghemat waktu. Hasilnya adalah hiragana yang
merupakan bentuk sederhana dari man'yōgana. Hiragana menjadi sistem penulisan
yang mudah dikuasai wanita. Kesusastraan zaman Heian diwarnai karya-karya besar sastrawan wanita
yang menulis dalam hiragana. Sementara itu, katakana diciptakan
oleh biksu yang hanya mengambil sebagian kecil coretan dari sebagian karakter
kanji yang dipakai dalam man'yōgana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar