AOI MATSURI
Aoi Matsuri (葵祭) adalah matsuri
yang dilangsungkan setahun sekali pada bulan Mei di Kyoto, Jepang. Puncak
perayaan adalah prosesi Rotō no gi (upacara di jalan) yang berlangsung 15 Mei
di dalam kota Kyoto. Aoi Matsuri adalah salah satu dari tiga perayaan terbesar
di Kyoto bersama-sama dengan Gion Matsuri dan Jidai Matsuri.
Prosesi Rotō no gi
merupakan rekonstruksi dari iring-iringan pejabat istana yang menuju Kuil Shimogamo dan Kuil Kamigamo untuk
membawa pesan dan persembahan dari kaisar.Pria dan wanita peserta prosesi
mengenakan pakaian berwarna-warni seperti dikenakan kalangan bangsawan Jepang
di zaman Heian.Wanita
dan anak-anak peserta iring-iringan memakai rias wajah
yang tebal seperti tata rias panggung.
Perayaan ini disebut Aoi Matsuri
karena daun tanaman Asarum caulescens
(bahasa Jepang: Futaba Aoi) dijadikan hiasan selama perayaan, termasuk
hiasan pada tutup kepala dan atap tandu. Aoi Matsuri sudah dicatat dalam
literatur Jepang sebelum abad pertengahan.Dalam cerita Hikayat Genji
dikisahkan tentang istri Hikaru Genji, Aoi no Ue yang datang terlambat lalu
berebut tempat dengan Rokujō no Miyasundokoro (kekasih suaminya) untuk dapat
melihat prosesi
Sejarah
Di masa pemerintahan Kaisar Kimmei (540-571) terjadi kegagalan
panen akibat cuaca buruk berkepanjangan.Rakyat dilanda wabah penyakit dan
kelaparan, sehingga kaisar mengirim utusan ke Kuil Kamo untuk menyampaikan
pesan dan persembahan.Musibah berakhir dan pejabat istana secara tetap
mengunjungi Kuil Kamo.Upacara diadakan di dua kuil Kamo sehingga disebut Kamo
Matsuri.
Di pertengahan zaman Heian, bila hanya disebut
"matsuri" maka yang dimaksudkan adalah Kamo Matsuri.Di zaman Kamakura
dan Muromachi, prosesi tidak dilangsungkan akibat
perang berkepanjangan.Perayaan dihidupkan kembali di Edo sekitar zaman Genroku. Ketika ibu kota
dipindahkan ke Tokyo pada tahun 1869, prosesi Aoi Matsuri juga tidak dilangsungkan.
Aoi Matsuri kembali dilangsungkan di Kyoto pada
tahun 1884
dengan maksud untuk menghidupkan kembali kota Kyoto. Selama Perang Dunia II,
upacara Shatō no Gi tetap dilangsungkan, tapi tidak diadakan prosesi.Prosesi
Aoi Matsuri kembali diadakan tahun 1953, dan diselenggarakan setiap tahun hingga sekarang.
Jadwal
Aoi Matsuri dilangsungkan dari awal
Mei hingga puncak upacara berupa prosesi 15 Mei.
Awal upacara
- Yabusame Shinji
Upacara di Kuil Shimogamo untuk mendoakan keselamatan selama
perayaan berlangsung.Penunggang kuda dengan kostum prajurit zaman Heian mempertontonkan
keterampilan memanah dari atas punggung kuda yang sedang berlari.
- Saiō-dai Misogi Shinji
Wanita yang berperan sebagai Saiō-dai (bintang utama dalam
prosesi) dan pengikutnya disucikan dalam upacara yang dilakukan secara
bergantian setiap tahunnya di Kuil Kamigamo dan Kuil Shimogamo.
- Busha Shinji
- Kamo Kurabe Uma
Upacara memacu kuda sekencang-kencangnya di dalam lingkungan
Kuil Kamigamo untuk memeriksa kondisi dan kesehatan kuda.
- Mikage Matsuri
Upacara penyambutan kedatangan arwah suci di Kuil Shimogamo
dari Kuil Mikage di Gunung Hiei .Tari dan musik tradisional dipersembahkan di hutan bernama
Tadasu no Mori, Kuil Shimogamo.
- Miare Shinji
Upacara tertutup yang dilangsungkan malam hari di Kuil
Kamigamo.Tidak terbuka untuk umum.
Puncak upacara (15 Mei)
- Prosesi Rotō no Gi
Prosesi dimulai dari Istana Kyoto (Kyoto Gosho) menuju Kuil Kamigamo dengan melewati Kuil Shimogamo. Puncak prosesi adalah barisan wanita pengiring bintang
prosesi yang disebut Saiō-dai.
- Shatō no Gi
Upacara pembacaan pesan dan penyerahan persembahan di Kuil
Shimogamo dan Kuil Kamigamo.
Saiō-dai dan barisan wanita
Pada zaman Heian, bintang utama dalam prosesi adalah seorang wanita yang
disebut Saiō (斎王).Peran Saiō dipercayakan kepada salah seorang putri
Kaisar Saga yang diutus sebagai miko di Kuil Kamo.Di zaman sekarang, wanita yang memerankan Saiō disebut
Saiō-dai (斎王代wakil Saiō) karena dipilih dari rakyat biasa. Wanita yang dipilih sebagai Saiō-dai
harus belum menikah dan berasal dari kota Kyoto.
Saiō-dai memakai rias wajah tebal
dan gigi yang dihitamkan (Ohaguro).Jenis kimono
yang dikenakan Saiō disebut Jūnihitoe (Karaginu Moshōzoku).Barisan wanita yang
mengelilingi Saiō-dai selama iring-iringan terdiri dari anak perempuan yang
disebut Menowarawa, dan wanita yang berperan sebagai penunggang kuda, pelayan
wanita (Uneme), dan pegawai istana.
Festival Nebuta Aomori
Festival
Nebuta Aomori (青森ねぶた祭りAomori
Nebuta Matsuri?) atau Aomori Nebuta (青森ねぶた?) adalah festivalmusim panas
dari 2 Agustus
hingga 7 Agustus
di kota Aomori, Prefektur Aomori. Festival ini termasuk salah satu acara menyambut Tanabata
yang dilakukan di wilayah Tohoku.Nebuta adalah lentera ukuran raksasa yang dibuat dari
kerangka kayu berlapis washi yang umumnya berbentuk boneka
pemeran kabuki
atau hewan.Nebuta
diusung dengan kendaraan hias untuk berpawai di jalan-jalan.
Festival
ini setiap tahunnya diikuti lebih dari 3 juta peserta dan wisatawan.
Bersama-sama dengan Tanabata di Sendai,
dan Kantō di Akita,
Aomori Nebuta adalah salah satu dari tiga festival terbesar di wilayah Tohoku.
Dua festival nebuta terbesar di Prefektur Aomori adalah Aomori Nebuta dan Hirosaki Neputa.
Penari dan kostum
Ciri
khas festival ini adalah orang yang menari beramai-ramai sewaktu berpawai
bersama nebuta.Tari khas Festival Nebuta disebut haneto dengan gerakan
kaki seperti melonjak-lonjak atau berjingkrak (跳ねるhaneru?). Tidak diketahui secara pasti
asal mula istilah haneto dipakai untuk menyebut cara menari festival
nebuta, namun istilah ini sudah dipakai dalam naskah asal tahun 1772-1781
Penari
juga disebut haneto (跳人)
dan mengenakan kostum yang juga disebut haneto (ハネト?).Kostum penari berupa yukata
dari kain katun, dilengkapi tutup kepala (hanagasa) berhias bunga-bunga,
kain pundak (tasuki) berwarna cerah (merah, merah jambu) pengikat lengan
yukata, dan ikat pinggang kain (shigoki) untuk menggantungkan mangkuk
minum (gagashiko) dari kaleng.Di
bawah yukata dikenakan kain pinggang (okoshi) berwarna merah jambu
untuk wanita (biru
untuk pria) yang menutup pinggang hingga lutut. Alas kaki adalah tabi berwarna putih dan zōri.
Penonton diharapkan untuk ikut menari. Kostum haneto dapat dibeli di toko serba ada atau dipinjam di toko peminjaman kostum.
Sejarah
Aomori Nebuta berawal dari tradisi menghanyutkan
lentera kertas pada malam Tanabata.Boneka Nebuta yang dihanyutkan di sungai atau laut termasuk tradisi
menghalau nasib buruk pada malam Tanabata. Sekitar 270-290 tahun yang lalu (era
Kyōhō 1716-1735) di dekat
kotaAburagawa
dilangsungkan festival lentera yang mirip dengan Hirosaki Neputa. Peserta waktu
itu mengusung lentera sambil menari di jalan-jalan. Pemandangan festival
lentera waktu itu mungkin mirip dengan Gion Matsuri
di Kyoto
Nebuta berbentuk lentera raksasa yang
menggambarkan tokoh-tokoh dalam kabuki muncul sekitar puncak keemasan seni
rakyat biasa pada era Bunka (1804-1817).
Sejarawan daerah Takeo Matsuno menulis tentang festival nebuta di surat kabar To-o Nippo edisi
Agustus 1966.
Dalam tulisan tersebut dikisahkan tentang pengamat budaya zaman Edo
bernama Gobutsu Kokkeisha menulis tentang pemandangan festival Tanabata di kota
Noshiro, Prefektur
Akita pada tahun 1843. Dalam buku Oku no Shiori, dikisahkannya tentang
boneka-boneka kertas yang yang antara lain menggambarkan Kaisar Jingū dan Kato Kiyomasa
dalam ekspedisi penaklukan Korea. Boneka-boneka kertas tersebut tingginya
sekitar 10 m dan lebar 6 m, dan diarak di atas kendaraan beroda.Di dalam
boneka-boneka kertas dipasang lilin.Nebuta diarak-arak oleh orang yang
menari-nari dengan iringan genta, taiko, dan terompet kulit kerang.Pemandangan
aneh tersebut dikatakannya juga ada di Hirosaki dan Kuroishi.
Festival Salju
Sapporo
Festival Salju Sapporo (さっぽろ雪まつりSapporo Yuki Matsuri?) adalah festival salju terbesar di Jepang yang
diadakan di kotaSapporo,
Hokkaido.
Festival ini dilangsungkan selama seminggu pada awal bulan Februari.Setiap
tahunnya sekitar dua juta wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri berkunjung ke
Sapporo selama berlangsungnya festival.
Sejarah
Sejak tahun 2006, festival ini diadakan di tiga
lokasi: Taman Odori, Susukino, dan Sapporo Satoland. Di lokasi Taman Odori
dipamerkan ukiran es dan
salju berukuran
sangat besar, termasuk pahatan es berbentuk miniatur bangunan terkenal.Pameran
ukiran es yang lebih kecil diadakan di Susukino, sementara acara untuk keluarga
diadakan di Sapporo Satoland.
Sejarah
Festival pertama Festival
salju Sapporo pertama kali diselengarakan tahun 1950 oleh dinas
pariwisata Sapporo dan pemerintah kota Sapporo, dengan sponsor surat kabar
lokal Hokkai Times. Di Sapporo sebenarnya pernah dilangsungkan berbagai
festival salju, namun terhenti sewaktu Perang Dunia II.
Ide membuat patung dari salju diambil dari
festival salju yang diadakan tahun 1935 oleh murid-murid sebuah SD di kotaOtaru. Festival yang
pertama bermodalkan 6 buah patung salju buatan siswa SMP dan SMU kota Sapporo,
ditambah festival salju di depan stasiun Hokkaido yang diadakan Japanese National
Railways (sekarang disebut JR). Festival dimeriahkan dengan
kontes, senam, perlombaan, tari, dan pemutaran film.
Perkembangan Pada
festival salju yang pertama, tinggi patung dibatasi hingga 7 meter. Di festival
ke-4 (1953), batasan
tinggi dihapus dan siswa sekolah menengah kejuruan kota Hokkaido membangun
ukiran es yang tingginya 15 meter. Salju yang diperlukan berjumlah sangat
banyak hingga perlu bantuan pinjaman truk dan buldoser dari pemerintah kota
Hokkaido. Sejak itu, pemerintah kota Hokkaido selalu meminjamkan alat-alat
berat sehingga bisa dibangun ukiran es dan salju berskala besar.
Pada festival ke-5 (1954) mulai ikut
dipamerkan patung salju sumbangan penduduk kota. Festival yang ke-6 (1955) ditandai dengan
makin banyaknya peserta. Bangunan dalam berbagai bentuk yang dibuat pasukan
bela diri Jepang, perusahaan swasta, pemerintah kota, dan berbagai sponsor
mulai ditata rapi.
Sejak sekitar festival ke-10 (1959), wisatawan dari
luar Hokkaido mulai banyak yang datang untuk melihat festival salju Sapporo.
Festival tahun 1972 diadakan bersamaan dengan penyelenggaraan olimpiade musim dingin tahun 1972 dan
ikut diperkenalkan di luar negeri. Sejak itu, festival ini mulai dijadikan
tujuan oleh wisatawan asing. Sejak tahun 1974, festival
dimeriahkan lomba internasional seni pahat es dan salju yang diikuti seniman
pemahat dari berbagai kota besar di dunia.
Lokasi pameran patung es di Susukino berasal dari
acara lokal yang diadakan pertama kali tahun 1981, dan baru menjadi
bagian festival salju Sapporo di tahun 1983. Dari festival ke-41 (tahun 1990) hingga festival
ke-42 (tahun 1992), festival salju Sapporo pernah dilangsungkan di 4 lokasi,
tapi lokasi ke-4 ditutup karena sedikitnya jumlah pengunjung dan ukiran salju
yang dipamerkan.
Festival Yosakoi
Yosakoi adalah tari dengan ciri khas gerakan
tangan dan kaki yang dinamis.Tari ini berkembang sebagai bentuk modern tari
musim panas Awa Odori.Sambil
menari, di kedua belah tangan, penari pria dan wanita segala umur membunyikan perkusi
dari kayu
yang disebut naruko.Mulanya,
naruko dipakai untuk mengusir burung-burung di sawah, namun sekarang
menjadi pelengkap tari.
Penari dalam satu kelompok mengenakan kostum berupa happi atau yukata.Kostum
dan musik dipilih sesuai selera masing-masing kelompok yang berusaha tampil
seunik mungkin. Musik pengiring tari dapat merupakan campuran musik daerah (minyō) dicampur dengan
musik rock,
samba,
disko,
enka, atau genre musik
yang lain sesuai selera, namun harus memasukkan melodi "Yosakoi Naruko
Odori".
Kelompok penari Yosakoi menari di jalan utama kota
Kochi (Otesuji), alun-alun kota, dan pusat perbelanjaan Obiyamachi. Di dalam
kota setidaknya disediakan 9 lokasi kompetisi tari dan 6 lokasi pentas.
Festival ini dimeriahkan sekitar 19.000 peserta dalam 170 kelompok penari.[1]
Sejumlah peraturan yang mengatur para peserta, misalnya pembatasan jumlah
penari dalam satu kelompok (di bawah 150 orang), ukuran panggung di truk bak terbuka (jigatasha),
dan keharusan membawa naruko sewaktu menari.[2]
Asal usul kata Yosakoi adalah Yosakoi (夜さ来い?) yang
berarti datanglah kau malam ini. Menurut kisah lain, kata Yosakoi
berasal dari seruan para pekerja bangunan ketika membangun Istana Kōchi di masa
pemerintahan Yamauchi Katsutoyo
(1596-1615). Mereka menyerukan "Yoisho koi, yoisho koi" agar
bersemangat ketika mengangkati bahan bangunan.[3]
Kisah cinta zaman Edo
(1771-1776) antara aktor kabukiIkushima Shingorō dan
wanita Ōoku bernama Nakaejima diangkat sebagai
lagu minyō berjudul
"Ejimabushi". Lagu tersebut terkenal di seluruh negeri, dan dijadikan
lagu pengiring Bon Odori di Provinsi Tosa
(sekarang Prefektur Kochi).[4]
Istilah Yosakoi (夜さ来い?)
pastinya bukanlah dialek Tosa.Orang Kōchi
menyebut malam sebagai ban (晩?),
sementara kiya atau kiiya (来や?) untuk datanglah.[3]
Kemungkinan lain, kata yosari koi (夜さり来い?,
datanglah malam ini) asal bahasa Jepang kuno abad ke-9
berubah menjadi yosakoi[3],
dan dimasukkan ke dalam lirik minyō berjudul Yosakoi Bushi
Festival Yosakoi pertama kali diadakan pada 10 Agustus-11 Agustus1954 di kotaKochi.
Peserta festival waktu itu berjumlah 750 penari yang tergabung dalam 21
kelompok.[1]
Sebelumnya, tari Yosakoi pertama kali dipentaskan di muka umum sebagai tari
kreasi baru pada Pameran Dagang dan Industri Prefektur Kochi, Maret 1950.[5]
Pada penyelenggaraan ke-30 tahun 1984, penari yang ikut serta sudah mencapai
10.000 orang.[1]
Di Sapporo, Hokkaido pada Juni 1992[6]
diadakan Festival Yosakoi Sōran
yang pertama.Festival Yosakoi Sōran adalah festival tari Yosakoi yang pertama
diadakan di luar Prefektur Kochi.Pada penyelenggaraan pertama, festival di
Sapporo sudah diikuti sekitar 1.000 penari dalam 10 kelompok.Sejak ada festival
di Sapporo, berbagai festival Yosakoi mulai diselenggarakan di berbagai tempat
di Jepang. Total penari di festival Yosakoi Sapporo bahkan melebihi jumlah penari
Festival Yosakoi di tempat asalnya. Festival Yosakoi Sōran tahun 2008
menampilkan sekitar 33.000 penari dalam 330 kelompok, dan dihadiri sekitar 2
juta penonton. Festival tari Yosakoi terbesar lainnya diadakan di Sendai (Festival
Michinoku Yosakoi), Tokyo (Super Yosakoi), dan Nagoya
Dari Festival Yosakoi di Prefektur Kochi, Yosakoi
telah menjadi salah satu bentuk modern tari musim panas yang ditarikan di
berbagai tempat di Jepang, dan bahkan hingga ke luar negeri.
- Festival Yosakoi Sōran, Sapporo (pertengahan Juni)
- Festival Yosakoi Michinoku, Sendai (awal Oktober)
- Utsukushima Yosakoi Matsuri, Prefektur Fukushima (pertengahan September)
- Kiryū Yagibushi Matsuri, Kiryū (awal Agustus)
- Harajuku Omotesandō Genki Matsuri Super Yosakoi, Shibuya, Tokyo (akhir Agustus)
- Sakado Yosakoi, Sakado, Prefektur Saitama (akhir Agustus)
- Yosakoi in Oidensai, Toyokawa, Prefektur Aichi (akhir Mei)
- Noto Yosakoi Matsuri, Nanao, Prefektur Ishikawa (awal Juni)
- Nippon Domannaka Matsuri, Nagoya (akhir Agustus)
- Shizuoka Odakkui Matsuri, Shizuoka (akhir September)
- Yosakoi Tōkaidō, Numazu, Prefektur Shizuoka (awal November)
- Nagahama Azai Appare Matsuri, Nagahama, Prefektur Shiga (akhir Agustus)
- Festival Yosakoi Odorunya Kishū, Wakayama (pertengahan Agustus)
- Festival Yosakoi Sasebo, Sasebo (akhir Oktober)
- Festival Yosakoi Surabaya, Surabaya, Indonesia (akhir Juli)
Gozan no Okuribi
Gozan no Okuribi (五山送り火?, Api
perpisahan 5 gunung) adalah penyalaan api unggun
yang disusun membentuk aksara kanji, serta bentuk perahu, dan torii di 5 gunung
sekeliling kota Kyoto,
Jepang.
Tradisi ini merupakan puncak perayaan Obon di Kyoto, dan
dilangsungkan setiap tanggal 16 Agustus.Tradisi menyalakan okuribi (api untuk mengantar kepulangan para arwah) dimaksudkan untuk mengantar kepulangan arwah yang dipercaya mendatangi rumah keluarga atau anak cucu selama perayaan Obon. Gozan no Okuribi juga dikenal sebagai Daimonji no Okuribi (大文字の送り火?), karena api dinyalakan untuk membentuk aksara (moji atau monji) untuk "dai" (大?, besar). Selain di Kyoto, Daimonji no Okuribi juga dilangsungkan di beberapa tempat lain di Jepang.
Di zaman Edo, okuribi tidak hanya dinyalakan di 5 lokasi. Pada waktu itu masih terdapat api unggun yang disusun membentuk aksara hiragana untuk "i", dan aksara kanji untuk "ichi" (satu), "hebi" (ular), serta "naginata" (tombak bermata golok). Gozan no Okuribi merupakan salah satu dari 4 perayaan besar di Kyoto, bersama-sama dengan Aoi Matsuri, Gion Matsuri, dan Jidai Matsuri.
Penyalaan api dimulai pukul 08.00 malam di Gunung Daimonji (Nyoigatake), dan dilanjutkan dengan api unggun di keempat gunung lainnya. Nama dan waktu penyalaan untuk masing-masing api unggun:
- Daimonji
Api unggun yang dinyalakan untuk
mengawali Gozan no Okuribi. Api disusun membentuk aksara kanji 大 ("dai") yang berarti "besar sekali" atau
"hebat". Lokasi: kuil Jōdo-ji, Gunung Daimonji (Nyoigatake),
dinyalakan tepat pukul 20.00
- Myō Hō
Api unggun yang disusun membentuk dua
aksara kanji 妙・法 ("myō" dan
"hō") yang berarti "hukum yang mengagumkan" (dalam konteks
agama Buddha). Lokasi: Gunung Nishi-Yama dan Higashi-Yama, Matsugasaki,
dinyalakan pukul 20.10
- Funagata
Api unggun yang disusun seperti gambar perahu. Lokasi:
Gunung Funa, Nishigamo, dinyalakan pukul 20.15
- Hidari Daimonji (Daimonji sebelah kiri)
Api unggun yang disusun membentuk
aksara kanji 大 ("dai"), namun
bentuknya merupakan cermin dari bentuk aksara "dai" pada Daimonji.
Lokasi: Gunung Hidaridaimonji, Ōkitayama, dinyalakan pukul 20.15
- Toriigata
Api unggun yang disusun seperti gambar torii. Lokasi: Gunung
Mandara, Saga Toriimoto, dinyalakan tepat pukul 20.20
Api di masing-masing lokasi menyala selama 30 menit. Api Daimonji padam pada
pukul 20.30, diikuti api di keempat gunung lainnya secara berurutan.Sejumlah literatur klasik tentang kota Kyoto mencantumkan tentang asal-usul penyalaan api unggun Gozan no Okuribi, namun kebenaran dari penjelasan tersebut tidak bisa dipastikan.
- Menurut Kurokawa Dōyū dalam buku Yōshūfushi dan Hinamikiji
Pendeta Buddha Kōbō Daishi Kūkai menulis
aksara kanji 大 ("dai") yang dipercaya
menggambarkan tubuh manusia, dan berdoa untuk mengusir wabah dengan membuat api
unggun.
- Menurut Hakue dalam buku Sanshū Meisekishi
Shogun Ashikaga Yoshimasa mendoakan arwah anak
laki-lakinya, Ashikaga Yoshihisa dengan
membuat api unggun. Pengikut Yoshimasa yang bernama Haga Kamon menyusun api
unggun agar membentuk aksara 大
("dai"). Aksara yang ditulis pendeta kuil Shōkoku-ji bernama Ōsenkeisan dijadikan model
sewaktu menyusun api unggun.
- Menurut Torahiko Terada dalam buku Annaisha
Aksara 大
("dai") untuk membentuk api unggun Daimonji berasal dari aksara yang
ditulis Aristokrat bernama Konoe Nobutada
(Sanmyakuin), salah seorang dari 3 ahli kaligrafi Jepang di zaman Kan'ei.
Hinamatsuri
Hinamatsuri (雛祭り, ひなまつり?) atau Hina
Matsuri adalah perayaan setiap tanggal 3 Maret
di Jepang
yang diadakan untuk mendoakan pertumbuhan anak perempuan.
Keluarga yang memiliki anak perempuan memajang satu set boneka yang
disebut hinaningyō (雛人形?, boneka
festival).
Satu set boneka terdiri dari boneka
kaisar,
permaisuri,
puteri istana (dayang-dayang), dan
pemusik istana yang menggambarkan upacara perkawinan
tradisional di Jepang. Pakaian yang dikenakan boneka adalah kimonogayazaman Heian.
Perayaan ini sering disebut Festival Boneka atau Festival Anak
Perempuan karena berawal permainan boneka di kalangan putri bangsawan
yang disebut hiina asobi (bermain boneka puteri).
Walaupun disebut matsuri,
perayaan ini lebih merupakan acara keluarga di rumah, dan hanya dirayakan
keluarga yang memiliki anak perempuan.Sebelum hari perayaan tiba, anak-anak
membantu orang tua mengeluarkan boneka dari kotak penyimpanan untuk
dipajang.Sehari sesudah Hinamatsuri, boneka harus segera disimpan karena
dipercaya sudah menyerap roh-roh jahat dan nasib sial.
Boneka diletakkan di atas panggung
bertingkat yang disebut dankazari (tangga untuk memajang).Jumlah anak
tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang
ada.Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan
berdasarkan tradisi turun temurun.Panggung dankazari diberi alas selimut
tebal berwarna merah yang disebut hi-mōsen.
Satu set boneka biasanya dilengkapi
dengan miniatur tirai lipat (byōbu)
berwarna emas untuk dipasang sebagai latar belakang. Di sisi kiri dan kanan
diletakkan sepasang miniatur lampion (bombori).
Perlengkapan lain berupa miniatur pohon sakura dan
pohon tachibana, potongan dahan
bunga persik
sebagai hiasan.
Tangga teratas
Dua boneka yang melambangkan kaisar
(o-dairi-sama) dan permaisuri (o-hina-sama) diletakkan di tangga
paling atas. Dalam bahasa Jepang, dairi berarti "istana
kaisar", dan hina berarti "sang putri" atau "anak
perempuan". Wilayah Kansai dan Kanto memiliki urutan kanan-kiri yang berbeda dalam penempatan
boneka kaisar dan permaisuri, namun susunan boneka di setiap anak tangga
berikutnya selalu sama.
Tangga kedua
Tiga boneka puteri istana (san-nin kanjo)
diletakkan di tangga kedua.Ketiga puteri istana membawa peralatan minum sake.Boneka puteri istana
yang paling tengah membawa mangkuk sake (sakazuki) yang diletakkan di atas
sampō. Dua boneka
puteri istana yang lain membawa poci sake (kuwae no chōshi), dan wadah sake yang
disebut (nagae no chōshi). Gigi salah satu boneka puteri istana
dihitamkan (ohaguro) dan alisnya dicukur habis. Dalam boneka versi Kyoto, puteri istana yang
paling tengah dari Kyoto membawa shimadai (hiasan tanda kebahagiaan dari
daun pinus,
daun bambu,
dan bunga ume).
Tangga ketiga
Lima boneka pemusik pria (go-nin
bayashi) berada di tangga ketiga.Empat musisi masing-masing membawa alat
musik, kecuali penyanyi yang membawa kipas lipat.Alat musik
yang dibawa masing-masing pemusik adalah taiko, ōkawa, kotsuzumi, dan seruling.[sunting]Tangga keempat
Dua boneka menteri (daijin)
yang terdiri dari Menteri Kanan (Udaijin) dan Menteri Kiri (Sadaijin)
berada di tangga ke-4.Boneka Menteri Kanan digambarkan masih muda, sedangkan
boneka Menteri Kiri tampak jauh lebih tua.Dari sudut pandang pengamat, Menteri
Kanan berada di sebelah kiri, sedangkan Menteri Kiri berada di sebelah kanan.
Tangga kelima
Pada tangga kelima diletakkan tiga
boneka pesuruh pria (shichō).Ketiganya masing-masing membawa bungkusan
berisi topi
(daigasa) yang dibawa dengan sebilah tongkat, sepatu yang
diletakkan di atas sebuah nampan, dan payung panjang
dalam keadaan tertutup. Dalam boneka versi lain, pesuruh pria membawa penggaruk
dari bambu (kumade) dan sapu.[2]
Selanjutnya, kereta sapi dan berbagai miniatur mebel yang dijadikan
hadiah pernikahan diletakkan di atas tangga-tangga di bawahnya.
Hidangan istimewa untuk anak
perempuan yang merayakan Hinamatsuri antara lain: kue hishimochi,
kue hikigiri, makanan ringan hina arare,
sup bening dari kaldu ikan tai atau kerang (hamaguri), serta chirashizushi. Minumannya
adalah sake putih (shirozake) yang dibuat dari fermentasi beras ketan dengan mirin atau shōchū,
dan kōji.
Minuman lain yang disajikan adalah sake manis (amazake) yang dibuat dari
ampas sake (sakekasu) yang diencerkan dengan air dan dimasak di atas
api.Sebelum kalender Gregorian digunakan di Jepang,
Hinamatsuri dirayakan setiap hari ke-3 bulan 3 menurut kalender lunisolar.Menurut kalender lunisolar,
hari ke-3 bulan 3 disebut momo no sekku (perayaan bunga persik), karena
bertepatan dengan mekarnya bunga persik.
Kalender Gregorian mulai digunakan
di Jepang sejak 1 Januari1873 sehingga perayaan
Hinamatsuri berubah menjadi tanggal 3 Maret. Walaupun demikian, sebagian orang
masih memilih untuk merayakan Hinamatsuri sesuai perhitungan kalender lunisolar
(sekitar bulan April
kalender Gregorian),
Dalam sejumlah literatur klasik
ditulis tentang kebiasaan bermain boneka di kalangan anak perempuan bangsawan
istana dari zaman Heian (sekitar abad ke-8).Menurut
perkiraan, boneka dimainkan bersama rumah boneka yang berbentuk
istana.Permainan di kalangan anak perempuan tersebut dikenal sebagai hina
asobi (bermain boneka puteri).Pada prinsipnya, hina asobi adalah
permainan dan bukan suatu ritual.
Sejak abad ke-19
(zaman Edo),
hina asobi mulai dikaitkan dengan perayaan musim (sekku) untuk
bulan 3 kalender lunisolar.Sama halnya dengan perayaan
musim lainnya yang disebut "matsuri", sebutan hina asobi juga
berubah menjadi Hinamatsuri dan perayaannya meluas di kalangan rakyat.
Orang Jepang di zaman Edo terus
mempertahankan cara memajang boneka seperti tradisi yang diwariskan turun
temurun sejak zaman Heian. Boneka dipercaya memiliki kekuatan
untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh boneka, dan karena itu
menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang berbahaya atau sial.
Asal-usul konsep ini adalah hinanagashi ("menghanyutkan
boneka").Boneka diletakkan di wadah berbentuk sampan, dan
dikirim dalam perjalanan menyusuri sungai hingga ke laut dengan membawa serta
roh-roh jahat.
Kalangan bangsawan
dan samurai
dari zaman Edo menghargai boneka Hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita
yang ingin menikah, dan sekaligus sebagai pembawa keberuntungan.Sebagai lambang
status dan kemakmuran, orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik
dan termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin.
Boneka yang digunakan pada awal
zaman Edo disebut tachibina (boneka berdiri) karena boneka berada dalam
posisi tegak, dan bukan duduk seperti sekarang ini.Asal-usul tachibina
adalah boneka berbentuk manusia (katashiro) yang dibuat ahli onmyōdō
untuk menghalau nasib sial.Boneka dalam posisi duduk (suwaribina) mulai
dikenal sejak zaman Kan'ei. Pada waktu itu,
satu set boneka hanya terdiri sepasang boneka yang keduanya bisa dalam posisi
duduk maupun berdiri.
Sejalan dengan perkembangan zaman,
boneka menjadi semakin rumit dan mewah.Pada zaman Genroku, orang mengenal
boneka genrokubina (boneka zaman Genroku) yang dipakaikan kimono dua
belas lapis (jūnihitoe).Pada zaman Kyōhō, orang mengenal
boneka ukuran besar yang disebut kyōhōbina (boneka zaman
Kyōhō).Perkembangan lainnya adalah pemakaian tirai lipat (byōbu)
berwarna emas sebagai latar belakang genrokubina dan kyōhōbina
sewaktu dipajang.
Keshogunan Tokugawa pada zaman Kyōhō berusaha
membatasi kemewahan di kalangan rakyat.Boneka berukuran besar dan mewah ikut
menjadi sasaran pelarangan barang mewah oleh keshogunan. Sebagai usaha
menghindari peraturan keshogunan, rakyat membuat boneka berukuran mini yang
disebut keshibina (boneka ukuran biji poppy), dan hanya
berukuran di bawah 10 cm. Namun keshibina dibuat dengan sangat mendetil,
dan kembali berakhir sebagai boneka mewah.
Sebelum zaman Edo berakhir, orang
mengenal boneka yang disebut yūsokubina (boneka pejabat resmi
istana).Boneka dipakaikan kimono yang merupakan replika seragam pejabat resmi
istana. Prototipe boneka Hinamatsuri yang digunakan di Jepang sekarang adalah kokinbina
(translasi literal: boneka zaman dulu). Perintis kokinbina adalah Hara
Shūgetsu yang membuat boneka seakurat mungkin berdasarkan riset literatur
sejarah.Boneka yang dihasilkan sangat realistik, termasuk penggunaan gelas
untuk mata boneka.
Mulai sekitar akhir zaman Edo
hingga awal zaman Meiji, boneka Hinamatsuri yang mulanya
hanya terdiri dari sepasang kaisar dan permaisuri berkembang menjadi satu set
boneka lengkap berikut boneka puteri istana, pemusik, serta miniatur istana, perabot
rumah tangga dan dapur. Sejak itu pula, boneka dipajang di atas dankazari
(tangga untuk memajang), dan orang di seluruh Jepang mulai merayakan
hinamatsuri secara besar-besaran.
Koinobori
Menurut penanggalan Imlek, Tango no Sekku jatuh pada tanggal 5 bulan 5 ketika Asia Timur sedang musim hujan. Orang tua yang memiliki anak laki-laki mengibarkan koinobori hingga hari Tango no Sekku untuk mendoakan agar anak laki-lakinya menjadi orang dewasa yang sukses. Setelah Jepang memakai kalender Gregorian, koinobori dikibarkan hingga Hari Anak-anak (5 Mei).Koinobori yang tertiup angin telah menjadi simbol perayaan Hari Anak-anak.Kalau zaman dulu koinobori berkibar di tengah musim hujan, koinobori biasanya sekarang mengingatkan orang Jepang tentang langit biru yang cerah di akhir musim semi.
Satu set koinobori terdiri dari ryūdama, yaguruma, fukinagashi, dan bendera-bendera ikan koi.
- Ryūdama (bola naga)
Bola yang bisa berputar dipasang di
ujung paling atas tiang tempat mengibarkan koinobori.
- Yaguruma
Roda berjari-jari anak panah
yang dipasang di bawah ryūdama.Ryūdama dan yaguruma dipercaya
sebagai pengusir arwah jahat.
- Fukiganashi
Sarung angin berhiaskan
panji-panji limawarna
(biru, merah, kuning, putih, dan hitam) atau gambar ikan
koi. Fukinagashi melambangkan 5 unsur (kayu, api, air, tanah, dan logam), dan dipercaya
sebagai penangkal segala penyakit.
- Koinobori hitam (magoi)
Koinobori berwarna hitam yang
melambangkan ayah
dikibarkan di bawah fukinagashi.
- Koinobori merah (higoi) dan koinobori warna lainnya
Koinobori lain yang berukuran lebih
kecil dikibarkan di bawah koinobori merah. Pada zaman sekarang, koinobori merah melambangkan ibu, koinobori biru melambangkan putra
sulung, dan koinobori hijau
melambangkan putra kedua.
Dalam Buku Han Akhir (Hou
Han Shu) yang merupakan salah satu dari buku sejarah resmi Cina (Sejarah Dua
Puluh Empat Dinasti) dikisahkan tentang sebuah air terjun
di sungai Sungai Kuning yang alirannya deras. Ikan-ikan
berusaha keras memanjat air terjun, namun hanya koi yang berhasil memanjat
air terjun dan berubah menjadi naga.Oleh karena itu, koi yang berhasil menaiki air terjun
dijadikan simbol kesuksesan dalam hidup.
Tradisi pengibaran koinobori di
halaman rumah dimulai oleh kalangan samurai
pada pertengahan zaman Edo. Mereka memiliki tradisi merayakan
Tango no Sekku dengan memajang peralatan bela diri,
seperti yoroi, kabuto, dan bonekasamurai.
Selain itu, mereka membuat koinobori dari kertas, kain, atau kain bekas yang
dijahit dan digambari ikan koi.Koinobori dibuat agar bisa berkibar dan menggelembung bila
tertiup angin.
Pada zaman sekarang sering dijumpai koinobori warna hijau dan oranye yang dimasudkan sebagai anak-anak koi.Di beberapa tempat di Jepang, koinobori bukan saja milik anak laki-laki.Koinobori yang melambangkan adanya anak perempuan dalam keluarga juga ingin ikut dikibarkan.Tersedianya koinobori warna cerah seperti oranye kemungkinan ditujukan untuk keluarga yang memiliki anak perempuan.
Pada 1931, pencipta lagu Miyako Kondo menulis lagu berjudul "Koinobori". Dalam lirik lagu tersebut, koinobori yang besar dan berwarna hitam adalah bapak koi dan koinobori warna lain yang lebih kecil adalah anak-anak koi. Konsep dari lirik lagu tersebut diterima secara luas di tengah rakyat yang sedang di bawah pemerintahan militer. Seusai Perang Dunia II, peran wanita makin penting, dan koinobori warna merah dipakai untuk melambangkan ibu koi. Satu set koinobori akhirnya secara lengkap melambangkan keluarga yang utuh: bapak, ibu, dan putra-putrinya. Hingga kini, lagu "Koinobori" ciptaan Miyako Kondo tetap dinyanyikan anak-anak, namun liriknya tetap sama seperti ketika diciptakan pada tahun 1931.
Berkibarnya koinobori sudah menjadi pemandangan langka di kota-kota besar di Jepang.Makin sedikitnya keluarga di Jepang yang memiliki anak kecil mungkin menjadi penyebabnya. Selain itu, penduduk kota besar tidak lagi tinggal di kompleks perumahan, melainkan di apartemen (mansion) yang tidak memiliki halaman untuk mengibarkan koinobori.
Kazo dikenal sebagai pusat kerajinan
koinobori sejak sebelum Perang Dunia II. Di kota ini setiap tahun pada bulan
Mei dikibarkan koinobori berukuran raksasa. Tradisi ini dimulai sejak tahun
1988 dengan mengibarkan koinobori berukuran panjang 100 m dan berat 600 kg.
- Tsuetate Onsen, Oguni, Prefektur Kumamoto
Dari April hingga awal Mei, ryokan yang
terletak di lembah Sungai Tsuetate mengibarkan lebih dari 3.500 koinobori.
Setiap awal Mei, koinobori dari washi dipasang di aliran
Sungai Niyodo.Koinobori dari washi tidak sobek walaupun basah terkena air
sungai.
Acara tahunan berupa pemasangan dua
ratus koinobori di tengah aliran Sungai Asano, Kanazawa
Setiap awal Mei, ratusan koinobori
dikibarkan di atas Sungai Ōtani.
Setiap akhir April hingga awal Mei,
sekitar 500 koinobori dipasang di tengah aliran Sungai Shimanto.
Festival Koinobori di 5 lokasi dari
akhir Maret hingga pertengahan Mei.Jumlah koinobori yang dikibarkan di
Tatebayashi tercatat sebagai terbanyak di dunia (lebih dari 5.000
koinobori).Pada Mei 2005, festival ini mengibarkan sejumlah 5.283 koinobori,
dan tercatat dalam Guinness World Records.
Tanabata
Tanabata (七夕?) atau Festival
Bintang adalah salah satu perayaan yang berkaitan dengan musim di Jepang, Tiongkok,
dan Korea.
Perayaan besar-besaran dilakukan di kota-kota di Jepang, termasuk di antaranya
kotaSendai
dengan festival Sendai Tanabata. Di
Tiongkok, perayaan ini disebut Qi Xi.
Tanggal festival Tanabata dulunya mengikuti kalender lunisolar yang kira-kira sebulan lebih
lambat daripada kalender Gregorian.Sejak kalender Gregorian
mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli,
hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunisolar, atau sebulan lebih lambat sekitar
tanggal 8 Agustus.
Aksara kanji yang digunakan untuk menulis Tanabata bisa dibaca
sebagai shichiseki (七夕?, malam
ke-7). Di zaman dulu, perayaan ini juga ditulis dengan aksara kanji yang
berbeda, tapi tetap dibaca Tanabata (棚機?).Tradisi
perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada zaman Nara.
Di zaman kuno Tiongkok
terdapat tradisi merayakan pergantian musim di bulan ke-7 hari ke-7 menurut kalender Tionghoa
(bulan ke-7 merupakan bulan pertama di musim gugur).Alasan dan sejak kapan hari
ke-7 bulan ke-7 mulai dijadikan hari istimewa tidak diketahui dengan
pasti.Literatur tertua yang menceritakan peristiwa di hari tersebut adalah Simin yueling (四民月令,
almanak petani) karya Cui Shi yang menulis
tentang tradisi menjemur atau mengangin-anginkan buku di bawah sinar matahari.
Menurut kalender yang pernah
digunakan di Jepang seperti kalender
Tempo, Tanabata dirayakan pada hari ke-7 bulan ke-7 sebelum perayaan
Obon.Setelah kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang,
Tanabata dirayakan pada 7 Juli, sedangkan sebagian upacara dilakukan di malam
hari tanggal 6 Juli.Di
wilayah Jepang sebelah timur seperti Hokkaido
dan Sendai,
perayaan dilakukan sebulan lebih lambat sekitar 8 Agustus.
Sejarah
Tanabata diperkirakan
merupakan sinkretisme
antara tradisi Jepang kuno mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan
perayaan Qi Qiao Jie
asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran wanita dalam menenun.Pada awalnya
Tanabata merupakan bagian dari perayaan Obon, tapi kemudian
dijadikan perayaan terpisah.Daun bambu (sasa) digunakan sebagai hiasan dalam perayaan
karena dipercaya sebagai tempat tinggal arwah leluhur.
Legenda Qi Xi pertama kali
disebut dalam literatur Gushi shijiu shou (古詩十九編, 19 puisi lama) asal
Dinasti Han
yang dikumpulkan kitab antologi Wen Xuan (文選).
Selain itu, Qi Xi juga tertulis dalam kitab Jing-Chu suishi ji (荊楚歲時記, festival dan tradisi tahunan wilayah Jing-Chu)
dari zaman Dinasti Utara dan Selatan, dan kitab Catatan Sejarah Agung. Literatur Jing-Chu
suishi ji mengisahkan para wanita memasukkan benang berwarna-warni indah ke
lubang 7 batang jarum pada malam hari ke-7 bulan ke-7 yang merupakan malam
bertemunya Qian Niu dan Zhi Nu, dan persembahan diletakkan berjajar di halaman
untuk memohon kepandaian dalam pekerjaan menenun.
Legenda asli Jepang tentang
Tanabatatsume dalam kitab Kojiki mengisahkan seorang pelayan wanita (miko) bernama Tanabatatsume yang harus
menenun pakaian untuk dewa di tepi sungai, dan menunggu di rumah menenun untuk
dijadikan istri semalam sang dewa agar desa terhindar dari bencana. Perayaan Qi
Xi dihubungkan dengan legenda Tanabatatsume, dan nama perayaan diubah menjadi
"Tanabata". Di zaman Nara, perayaan Tanabata dijadikan salah
satu perayaan di istana kaisar yang berhubungan dengan musim.Di dalam kitab
antologi puisi waka berjudul Man'yōshū
terdapat puisi tentang Tanabata karya Ōtomo no Yakamochi dari
zaman Nara.Setelah perayaan Tanabata meluas ke kalangan rakyat biasa di zaman
Edo, tema perayaan bergeser dari pekerjaan tenun menenun menjadi kepandaian
anak perempuan dalam berbagai keterampilan sebagai persiapan sebelum menikah.
Legenda
Legenda Tanabata di Jepang
dan Tiongkok mengisahkan bintang Vega yang merupakan bintang tercerah dalam rasi bintang Lyra sebagai
Orihime (Shokujo), putri Raja Langit yang pandai
menenun. Bintang Altair
yang berada di rasi bintang Aquila
dikisahkan sebagai sebagai penggembala sapi bernama Hikoboshi
(Kengyū).Hikoboshi rajin bekerja sehingga diizinkan Raja Langit untuk menikahi
Orihime.Suami istri Hikoboshi dan Orihime hidup bahagia, tapi Orihime tidak
lagi menenun dan Hikoboshi tidak lagi menggembala.Raja Langit sangat marah dan
keduanya dipaksa berpisah.Orihime dan Hikoboshi tinggal dipisahkan sungai
Amanogawa (galaksi Bima Sakti) dan hanya diizinkan bertemu setahun
sekali di malam hari ke-7 bulan ke-7.Kalau kebetulan hujan turun, sungai
Amanogawa menjadi meluap dan Orihime tidak bisa menyeberangi sungai untuk
bertemu suami.Sekawanan burung kasasagi terbang menghampiri Hikoboshi dan
Orihime yang sedang bersedih dan berbaris membentuk jembatan yang melintasi
sungai Amanogawa supaya Hikoboshi dan Orihime bisa menyeberang dan bertemu.
Literatur klasik tentang
legenda Tanabata melahirkan berbagai macam variasi cerita rakyat di berbagai
daerah di Tiongkok.Di beberapa tempat, variasi legenda Tanabata dijadikan
naskah sandiwara dan diangkat sebagai naskah Opera
Tiongkok. Di antara naskah-naskah yang terkenal seperti Tian he
pei dipentaskan sebagai Opera Beijing. Kisahnya tentang penggembala
sapi bernama Niulang yang mencuri pakaian salah seorang bidadari bernama Zhinu
yang sedang mandi.Niulang menikah dengan Zhinu sampai pada akhirnya bidadari
Zhinu harus kembali ke langit.Niulang mengejar Zhinu sampai naik ke langit,
tapi ibu Zhinu yang bernama Xi Wangmu (dewi surga)
memisahkan tempat tinggal Niulang dan Zhinu dengan sebuah sungai.Cerita ini
mirip dengan cerita rakyat Jepang yang berjudul Hagoromo.
Bintang bernama Zhinu dan
bintang bernama Niulang pertama kali disebut dalam kitab Shi Jing
(kira-kira terbitan 1000 SM), tapi tidak secara pasti menunjuk ke bintang yang
spesifik. Dalam kitab Catatan Sejarah Agung asal Dinasti Han
Barat, bintang Niulang menunjuk ke rasi bintang Lembu dan
bintang Zhinu menunjuk ke rasi bintang
Kawatsusumi. Sesuai dengan perkembangan legenda Tanabata, bintang
Niulang (Hikoboshi) akhirnya menunjuk ke bintang Altair.
Tradisi
Perayaan dilakukan di malam
ke-6 bulan ke-7, atau pagi di hari ke-7 bulan ke-7.Sebagian besar upacara
dimulai setelah tengah malam (pukul 1 pagi) di hari ke-7 bulan ke-7.Di tengah
malam bintang-bintang naik mendekati zenith, dan
merupakan saat bintang Altair, bintang Vega, dan galaksi Bima Sakti paling
mudah dilihat.
Kemungkinan hari cerah pada
hari ke-7 bulan ke-7 kalender Tionghoa lebih besar daripada 7 Juli yang masih
merupakan musim panas.Hujan yang turun di malam Tanabata disebut Sairuiu
(洒涙雨?), dan
konon berasal dari air mata Orihime dan Hikoboshi yang menangis karena tidak bisa
bertemu.
Festival Tanabata
dimeriahkan tradisi menulis permohonan di atas tanzaku atau secarik
kertas berwarna-warni.Tradisi ini khas Jepang dan sudah ada sejak zaman Edo.Kertas
tanzaku terdiri dari 5 warna (hijau, merah, kuning, putih, dan hitam). Di Tiongkok, tali
untuk mengikat terdiri dari 5 warna dan bukan kertasnya. Permohonan yang
dituliskan pada tanzaku bisa bermacam-macam sesuai dengan keinginan
orang yang menulis.
Kertas-kertas tanzaku
yang berisi berbagai macam permohonan diikatkan di ranting daun bambu membentuk
pohon harapan di hari ke-6 bulan ke-7.Orang yang kebetulan tinggal di dekat
laut mempunyai tradisi melarung pohon harapan ke laut sebagai tanda puncak
perayaan, tapi kebiasaan ini sekarang makin ditinggalkan orang karena hiasan
banyak yang terbuat dari plastik.
Perayaan
di berbagai daerah
Tanabata dirayakan secara
besar-besaran di berbagai kota, seperti: Sendai, Hiratsuka, Anjo, dan Sagamihara. Perayaan
dimulai setelah Perang Dunia II dengan maksud untuk
menggairahkan ekonomi, terutama di wilayah Jepang bagian utara.
Di zaman dulu, Sendai sering
berkali-kali dilanda kekurangan pangan akibat kekeringan
dan musim dingin
yang terlalu dingin.Di kalangan penduduk lahir tradisi menulis permohonan di
atas secarik kertas tanzaku untuk meminta dijauhkan dari bencana alam.Date Masamune
menggunakan perayaan Tanabata untuk memajukan pendidikan bagi kaum wanita, dan
hiasan daun bambu mulai terlihat di rumah tinggal kalangan samurai dan penduduk
kota. Di zaman Meiji
dan zaman Taisho,
perayaan dilangsungkan secara kecil-kecilan hingga penyelenggaraan diambil alih
pusat perbelanjaan di tahun 1927.Pusat perbelanjaan memasang hiasan Tanabata secara
besar-besaran, dan tradisi ini berlanjut hingga sekarang sebagai Sendai Tanabata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar